Trauma
adalah suatu hal yg pernah terjadi pada diri kita yg terkadang membuat orang panic
dan takut akan Terulang lagi kejadian Tersebut.Beberapa hari terakhir ini,
masyarakat Indonesia dikejutkan dengan peristiwa jebolnya tanggul Situ
Gintung di Tanggerang, Banten. Ratusan rumah habis tersapu air bah, puluhan
nyawa menyalang, dan ratusan orang lainnya harus hidup dalam pengungsian
tanpa ada kepastian yang jelas.
Besarnya akibat yang ditimbulkan dari peristiwa itu tentu saja akan
menimbulkan dampak psikologis yang besar bagi mereka yang merasakannya baik
secara langsung maupun tidak langsung. Rasa ketakutan, kehilangan,
kesakitan, dan keputusasaan akhirnya memunculkan suatu kondisi yang disebut
dengan trauma. Menurut Chaplin (1994), trauma adalah suatu luka baik
fisik maupun psikologis yang disebabkan oleh pengalaman yang
sangat menyaktikan. Dalam lingkup psikologis ”luka” yang ditimbulkan oleh
kejadian tersebut dapat berkembang menjadi suatu gangguan yang dikenal dengan
istilah PTSD (Post-Traumatic Stress Disorder). PTSD merupakan gangguan
emosional yang menyebabkan distres permanen, yang terjadi setelah individu
menghadapi ancaman keadaan yang membuatnya merasa tidak berdaya atau
ketakutan (Durand & Barlowm, 2006). Individu tidak mampu menghilangkan
kecemasan terkait dengan peristiwa traumatis sehingga sering mengalami
flashback ke kejadian itu, mimpi buruk, dan kecenderungan menolak fakta bahwa
peristiwa itu benar pernah terjadi (Halgin & Withbourne, 1994). Pada
akhirnya gangguan psikologis yang diderita oleh individu yang mengalami PTSD
akan berdampak pada aspek fisik individu tersebut. Penelitian yang dilakukan
oleh Ramchand, dkk (2008) menyebutkan bahwa ada korelasi positif antara
simtom PTSD dengan keberfungsian fisik (physical functioning). Semakin tinggi
level PTSD yang diikuti oleh luka fisik, maka semakin lama waktu kesembuhan
untuk luka tersebut dan sebaliknya.
Dari penjelasan di atas dapat diketahui bahwa pengalaman traumatis memang
memiliki tingkat resiko tinggi bagi individu, yaitu berkembang menjadi
suatu gangguan psikologis yang serius dan pada akhirnya dapat mempengaruhi
kondisi fisik individu tersebut. Oleh karena itu perlu dilakukan berbagai
langkah preventif sehingga resiko-resiko itu dapat dicegah. Salah satu cara
yang umum dilakukan oleh para konsultan atau terapis adalah memfasilitasi
individu untuk mengekpresikan pikiran dan perasaannya terkait dengan
pengalaman traumatis tersebut (Seery, dkk, 2008). Tindakan pengekspresian
tersebut penting agar individu tidak terjebak dalam perasaan dan pikiran
negatif secara terus-menerus sehingga dapat menimbulkan berbagai gangguan
psikologis pada dirinya. Pada kenyataannya banyak individu yang mengalami
peristiwa traumatis memang memilih untuk menceritakan pengalamannya itu.
Ditinjau menurut pendekatan behavioral kecenderungan individu untuk
mengekspresikan pengalaman traumtis itu dapat dijelaskan dengan konsep
reinforcement. Individu akan merasakan suatu respon positif dalam dirinya
seperti perasaan lega dan nyaman setelah bercerita dan itu menjadi reinforcer
(penguat) bagi individu untuk terus mengekspresikan pikiran dan perasaannya.
Tak kalah penting untuk diperhatikan bahwa dengan bercerita, individu itu
kemungkinan besar juga akan mendapatkan reward berupa dukungan sosial dari
lingkungan sekitarnya.
Hasil penelitian tersebut tentu merupakan sebuah penemuan yang sangat
menarik. Mengapa ada perbedaan reaksi antara individual trauma dan collective
trauma? Menurut pendekatan behavioral hal itu sangat dipengaruhi oleh kondisi
lingkungan terjadinya peristiwa tersebut. Pada individual trauma, hanya
individu sendiri yang mengalami peristiwa tersebut sehingga tindakan
pengekspresian diri itu akan mendapatkan respon postitif berupa dukungan
sosial dari lingkungan sekitar. Dukungan sosial itu merupakan reward
sekaligus memberikan berbagai perasaan postitif dalam dirinya yang menjadi
reinforcer untuk terus mengekspresikan diri. Sementara pada collective
trauma, masyarakat sama-sama berada dalam kondisi berjuang untuk mengatasi
perasaan traumatis tersebut. Pengekspresian pikiran dan perasaan mereka belum
tentu akan mendapatkan respon yang supportif dari lingkungan sekitar dan
bahkan ada kemungkinan mereka akan mendapatkan stressor tambahan dari cerita
lingkungan sekitarnya. Memilih untuk tidak becerita merupakan suatu bentuk
reinforcement negatif karena dengan demikian mereka terhindar dari beban
pikiran yang semakin menumpuk. Lanjutan penelitian dari Seery,
dkk (2008) bahkan menyebutkan bahwa dengan tidak mengekspresikan pengalaman
traumatis tersebut akan memunculkan unsur resilience (ketahanan diri) dalam
diri mereka karena mereka menjadi terbiasa untuk tidak bersikap lemah
dan tergantung (dependent). Unsur resilience tersebut menjadi suatu
reinforcer positif bagi individu sehingga untuk seterusnya mereka memilih
untuk tidak mengekspresikan berbagai pengalaman traumatis itu. Jadi ada
kombinasi dua reinforcer yaitu postitive reinforcer dan negative reinforcer
dalam yang berpengaruh pada keputusan individu pada situasi collective trauma
untuk tidak mengekpresikan pengalaman traumatisnya. |
Semoga Postingan saya bermanfaat :D kunjungi terus
Blog saya :D
Trauma, mengatasi trauma, menghilangkan trauma,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar